Berikut kisah atau cerita sedih yang dapat
memotivasi Anda dalam menjalani
kehidupan berumah tangga, cerita ini saya ambil dari catatan teman di FB, Kisah
mengharukan atau kisah sedih ini tentang
perjalanan cinta seorang istri yang tak pernah mencintai suaminya selama 10
tahun perjalanan pernikahannya hingga
sang Suami meninggal dunia, dan akhirnya
ia menyadari betapa besar cinta dan kasih
sayang yang diberikan sang suami
untuknya selama ini, dulu ia menghabiskan sepuluh tahun untuk membenci suaminya,
tetapi setelah Suaminya tiada Ia
menghabiskan hampir sepanjang sisa
hidpnya untuk mencintai sang Suami.
Aku membencinya, itulah yang selalu
kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya,
aku tak pernah benar-benar menyerahkan
hatiku padanya. Menikah karena paksaan
orangtua, membuatku membenci suamiku
sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku.
Meskipun membencinya, setiap hari aku
melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku
terpaksa melakukan semuanya karena aku
tak punya pegangan lain. Beberapa kali
muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan
dukungan siapapun. Kedua orangtuaku
sangat menyayangi suamiku karena
menurut mereka, suamiku adalah sosok
suami sempurna untuk putri satu satunya
mereka. Ketika menikah, aku menjadi istri yang
teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka
hatiku. Suamiku juga memanjakanku
sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-
benar menjalani tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya
setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku
telah menyerahkan hidupku padanya
sehingga tugasnyalah membuatku bahagia
dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada
sedikit saja masalah, aku selalu
menyalahkan suamiku. Aku tak suka
handuknya yang basah yang diletakkan di
tempat tidur, aku sebal melihat ia
meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket,
aku benci ketika ia memakai komputerku
meskipun hanya untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Aku marah kalau ia
menggantung bajunya di kapstock bajuku,
aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku
marah kalau ia menghubungiku hingga
berkali-kali ketika aku sedang bersenang-
senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya
anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia
mendukung dan akupun ber-KB dengan pil.
Tapi rupanya ia menyembunyikan
keinginannya begitu dalam sampai sua tu
hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia
tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empa t
bulan, dokterpun menolak
menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya.
Kemarahan semakin bertambah ketika aku
mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku
memaksanya melakukan tindakan
vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan
patuh ia melakukan semua keinginanku
karena aku mengancam akan
meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulang tahun yang ke-delapan. Seperti
pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling
akhir. Suami dan anak-anak sudah
menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan
mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia
mengingatkan kalau hari itu ada peringatan
ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab
dengan anggukan tanpa mempedulikan
kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke
mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah,
karena merasa terjebak dengan
perkawinanku, aku juga membenci kedua
orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak.
Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga
anak-anak menggoda ayahnya dengan
ribut. Aku berusaha mengelak dan
melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya
ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di
depan pintu, seakan-akan berat untuk
pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan
untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke
salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di
salon aku bertemu salah satu temanku
sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami
mengobrol dengan asyik termasuk saling
memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya
aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari
bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga bagian
terdalam aku tak menemukannya di dalam
tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa
yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan
bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta
uang jajan dan aku tak punya uang kecil
maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.”
Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan
kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya
selesai bicara. Tak lama kemudian,
handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya
dengan setengah membentak.
“Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan
ambil dompet dan mengantarnya padamu.
Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon
kembali. Aku menyebut nama salonku dan
tanpa menunggu jawabannya lagi, aku
kembali menutup telepon. Aku berbicara
dengan kasir dan mengatakan bahwa
suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang
sahabatku sebenarnya sudah
membolehkanku pergi dan mengatakan aku
bisa membayarnya nanti kalau aku kembali
lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku
juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan
berharap mobil suamiku segera sampai.
Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak
sabar sehingga mulai menghubungi
handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon.
Padahal biasanya hanya dua kali berdering
teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai
merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab
telepon suamiku. Aku terdiam beberapa
saat sebelum suara lelaki asing itu
memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu.
Apakah ibu istri dari bapak armandi?”
kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu
bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan
saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit
kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan
hanya menjawab terima kasih. Ketika
telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat
handphone yang kupegang dan beberapa
pegawai salon mendekatiku dengan sigap
bertanya ada apa hingga wajahku menjadi
pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-
tahu seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang hanya diam seribu
bahasa menunggu suamiku di depan ruang
gawat darurat. Aku tak tahu harus
melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika
akhirnya setelah menunggu beberapa jam,
tepat ketika kumandang adzan maghrib
terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku telah
tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang
menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk
menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama sekali tak
ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu
dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul
memelukku dengan erat tetapi kesedihan
mereka sama sekali tak mampu membuatku
menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu
menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah
aku benar-benar menatap wajahnya yang
tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya
dan kupandangi dengan seksama. Saat
itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh
perlahan wajahnya yang telah dingin dan
kusadari inilah kali pertama kali aku
menyentuh wajahnya yang dulu selalu
dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku
terkesiap berusaha mengusap agar airmata
taku menghalangi tatapan terakhirku
padanya, aku ingin mengingat semua
bagian wajahnya agar kenangan manis
tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, air mataku semakin
deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan
dari imam mesjid yang mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku
berhenti menangis. Aku berusaha
menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir
kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku hampir
tak pernah mengatur makannya. Padahal ia
selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang
harus kukonsumsi terutama ketika
mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak
pernah absen mengingatkanku makan
teratur, bahkan terkadang menyuapiku
kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku
tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu
apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir
seluruh keluarga tahu bahwa suamiku
adalah penggemar mie instant dan kopi
kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan
mie instant karena aku hampir tak pernah
memasak untuknya. Aku hanya memasak
untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak
perduli dia sudah makan atau belum ketika
pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut
malam setiap hari karena dari kantor cukup
jauh dari rumah. Aku tak pernah mau
menanggapi permintaannya untuk pindah
lebih dekat ke kantornya karena tak mau
jauh-jauh dari tempat tinggal teman- temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan
diri lagi. Aku pingsan ketika melihat
tubuhnya hilang bersamaan onggokan
tanah yang menimbun. Aku tak tahu
apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal
memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia karena mereka
tak pernah tahu mengapa aku begitu
terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti
yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah
terjebak di dalam keinginan untuk
bersamanya. Di hari-hari awal
kepergiannya, aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi
yang kuingat hanyalah saat suamiku
membujukku makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa
handuk saat mandi, aku berteriak
memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok
menangis di dalam kamar mandi berharap ia
yang datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali aku tidak bisa
melakukan sesuatu di rumah, membuat
teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya
di kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur
mendengar suara dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu
aku kesal karena ia sering berantakan di
kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa
kamar tidur kami terasa kosong dan hampa.
Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan
pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku
memandangi komputer, mengusap tuts-
tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih
tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak
suka ia membuat kopi tanpa alas piring di
meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi yang biasa
disembunyikannya, sekarang dengan
mudah kutemukan meski aku berharap bisa
mengganti kehilangannya dengan
kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari
bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku
marah karena semua kelihatan normal
meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana
meninggalkan baunya yang membuatku
rindu. Aku marah karena tak bisa
menghentikan semua penyesalanku. Aku
marah karena tak ada lagi yang
membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini
kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena
aku ingin meminta maaf, meminta maaf
pada Allah karena menyia-nyiakan suami
yang dianugerahi padaku, meminta ampun
karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku
sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku
ditunjukkannya dengan begitu banyak
perhatian dari keluarga untukku dan anak-
anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka setelah
kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk bangkit
dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali
rasa bingung merasukiku. Selama ini aku
tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak pernah
peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku
untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan
setiap bulan uang itu hampir tak pernah
bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja,aku
memperoleh gaji terakhir beserta
kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata
seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku
selama ini. Padahal aku tak pernah
sedikitpun menggunakan untuk keperluan
rumah tangga. Entah darimana ia
memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak
pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang
aku tahu sekarang aku harus bekerja atau
anak-anakku takkan bisa hidup karena
jumlah gaji terakhir dan kompensasi
bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku
hampir tak pernah punya pengalaman sama
sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang bersama seorang
notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah
surat. Surat pernyataan suami bahwa ia
mewariskan seluruh kekayaannya padaku
dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam
surat tersebut tapi yang membuatku tak
mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
"
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih
dahulu, sayang. maaf karena harus
membuatmu bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi.
Allah memberiku waktu yang terlalu singkat
karena mencintaimu dan anak-anak adalah
hal terbaik yang pernah kulakukan
untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku
tak mau kalian kehilangan kasih sayangku
begitu saja. Selama ini aku telah menabung
sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian
nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah
aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa
memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik
untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja.
Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama
ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk
mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat
kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku
menyusahkanmu dan semoga Tuhan
memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan
karena ayah tak bisa mendampingimu.
Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan
Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu
dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel
lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke,
Buddy!"
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar
kartun dengan kacamata yang diberi lidah
menjulur khas suamiku kalau ia
mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini
suamiku memiliki beberapa asuransi dan
tabungan deposito dari hasil warisan ayah
kandungnya. Suamiku membuat beberapa
usaha dari hasil deposito tabungan tersebut
dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis
terharu mengetahui betapa besar cintanya
pada kami, sehingga ketika ajal
menjemputnya ia tetap membanjiri kami
dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu
menghapus sosoknya yang masih begitu
hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya
kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika
orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya,
tak satupun meninggalkan kesedihan
sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh
tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi
seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana
nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah
kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya
bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta
sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau
akan mendapatkan segalanya. Karena cinta,
kau akan belajar menyenangkan hatinya,
akan belajar menerima kekurangannya,
akan belajar bahwa sebesar apapun
persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu
untuk ayah? Cinta itukah yang membuat
ibu tetap setia pada ayah sampai
sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai
ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian
berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta
ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku.
Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi menghabiskan hampir
sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya.
Aku bebas darinya karena kematian, tapi
aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
Ini crtnya di bunyu apa dimana ko sy tdk pernah denger sy putra bunyu skrng ada di jkt
BalasHapusIni crtnya di bunyu apa dimana ko sy tdk pernah denger sy putra bunyu skrng ada di jkt
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus