Petugas kebersihan berseragam biru-biru, Bandara Soekarno Hatta, mengambil beberapa potong kertas dari bawah kursi ruang tunggu VIP yang telah sepi. Memasukkannya kedalam kotak orange yang sejak seharian selalu menemaninya.
Dilihatnya sebuah Koran di kursi paling pojok. Diraihnya, sebelum Ia tersadar di balik Koran itu ada sebuah buku bersampul biru.
Milik siapakah buku ini? Kasian sekali pemiliknya, pasti sangat merasa kehilangan.
Dia buka cover buku itu. Halaman pertama.
Sepotong tulisan pendek…
“Samudra”
Tangan tuanya membalik lembar pertama dengan hati-hati seolah takut mengotori lembaran bersih buku itu.
(Biru, seorang yang selalu aku cintai, semoga Tuhan selalu bersamamu. Mendekapmu dalam kasih-Nya).
Diurungkan niatnya untuk membalik halaman kedua. Merasa tidak memiliki kewenangan untuk membaca buku milik orang lain. Di letakkan buku itu pada tempat semula. Kemudian membalikkan badannya dan beranjak pergi.
Baru beberapa langkah, dia berhenti.
Seandainya, ada orang yang mengambilnya?!
Rumah kontrakan yang sempit itu adalah satu-satunya tempat Ia bernaung dari panas dan hujan, selama ia mencari nafkah di kota besar ini, untuk menghidupi keluarganya yang Ia tinggalkan di kampung halamannya.
Setelah melepas lelah dan makan malam alakadarnya, ia merebahkan badannya. Pandangannya terhenti pada sebuah buku di atas lemari tua, satu-satunya benda dalam ruangan itu.
Buku bersampul biru yang tadi siang Ia temuakan di bandara tempat Ia bekerja.
Aku bangkit dari kursi setelah layar monitor komputerku mati.
Kuhampiri jendela lantai dua puluh satu apartemenku.
Lalu lintas di bawah sana masih sangat ramai, kulirik jam tanganku, menunjukkan jam 17.35. Pantas saja suasana lalu lintas begitu ramai, dan pantas saja perutku terasa sangat perih. Jam makan siang sudah jauh terlewat rupanya, bahkan sarapanpun merupakan hal yang aneh bagiku.
Kusambar jaket kulit kesayanganku, kukenakan sambil berjalan menuju Lift.
Kunyalakan Pak menteri B. 511 BR, mobil besar kesayanganku.
Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di antrean panjang, sepanjang pusat perkantoran di kota tempat tinggalku saat ini.
Akhirnya aku memutuskan untuk memilih spagheti house untuk mengisi perutku yang semakin perih. Ku hampiri satu-satunya meja yang kosong di pojok kanan restoran tersebut. Rupanya banyak juga yang telat makan. Akh, sok tau sekali aku. Mungkin mereka hanya menghabiskan waktu menunggu lalu lintas agak sepi untuk menghindari macet, jadi sekedar duduk-duduk bersama temannya. Tertawa dan bercanda sambil melepas lelah setelah seharian bekerja.
Aku memesan Cheese Burger dan segelas cola dingin. Sambil menuggu pesanan, aku buka majalah yang tadi sempat aku beli di depan restoran, mmm..tidak ada yang menarik perhatianku.
Pesananku datang tepat ketika Lima orang anak remaja laki-laki dan seorang perempuan masuk dan langsung jadi pusat perhatian!
“Hahahahaha, give me five…”
“Lo keren banget waktu maen tadi Sha! Sumpah..!”
“yo'a, guee!”
Si gadis yang dipanggil “Sha” dengan bola basket ditanganya hanya tersenyum.
Gadis itu mengingatkan aku pada sosok “Biru”, satu-satunya gadis paling cuek yang pernah aku kenal yang hingga saat ini tidak mau beranjak dari hatiku..
“Tuhan, apa kabar Biruku…?” bisikku dalam hati.
“Sha.. lo mo makan apa?”
“mmmm… bentar masi bingung, aku masiiii seneng bangeeeet, aku nggak ngira bakal menang Jo..”
Tuhan, aku nggak ingin memandang ke arah mereka, tapi sialnya mejaku persis di sebrang meja mereka.
Gigitan pertama di Cheese Burgerku terasa sangat pahit menyaksikan kehangatan mereka, menyaksikan cara bicara gadis itu, tawanya, senyumnya..
Akh Tidak!
Terbayang dengan jelas sosok Biru lima tahun yang lalu, sama persis dengan gadis pemain basket di depanku!
Sejak kecil aku selalu merasa bahwa aku adalah makhluk yang paling dimanjakan oleh Tuhan di dunia ini. Bagaimana tidak, aku memiliki orang tua yang penuh cinta dan kehangatan. Mom yang cantik, lembut. Dad yang gagah dan menyenangkan. Aku tidak pernah kekurangan apapun selama hidupku.
Tapi pada akhirnya semua berubah begitu cepat. ketika aku beranjak dewasa dan jatuh cinta pada seorang bernama Biru . Seorang perempuan biasa yang lembut, ramah, penuh cinta tapi sangat memegang prinsip.
“Sam, kamu tahu kita berbeda, kita tidak bisa bersama. Agama yang aku yakini, melarang aku menikah dengan kamu. Aku tidak bisa melanjutkan ini. Ingat Sam, ketika kita sedang berjalan di tepi pantai, semakin kita ketengah akan semakin sulit kita kembali. Selagi kaki-kaki kita belum basah, selagi kita masih di tepi, sebaiknya kita kembali. Aku tidak bisa menjadi kekasihmu.”
saat kau mengucapkan itu, aku melihat dari sorot matamu yang paling jujur dan aku sangat meyakininya. rasa cintamu padaku sebesar rasa cintaku padamu. Kenapa pergi Biru?! kenapa?!
Tuhan menciptakan sebongkah yang bernama “perasaan” yang indah, tapi sangat sulit aku pahami.
Begitu pahit dengan cerita sedih yang tidak berkesudahan karena sebuah perbedaan. Tapi juga membawakan sebongkah kebahagiaan yang tak terhingga.
Itulah terakhir aku melihatnya..
Hampir satu jam aku berada di pelataran parkir. Tak terasa pipiku basah.
Ku kenakan kaca mata hitamku. Menghidupkan pak menteri dan keluar dari pelataran parkir. Beberapa orang gadis menatapku, bahkan ada yang nekad berteriak “hai gondrong, godain kita dong..”
“so cool banget seeh..”
Akh, peduli apa dengan mereka. Inilah aku. Inilah hidupku.
Aku membuka pintu apartemenku. Sepiiii… setiap hari selalu seperti ini. Sepiii.. dan sepiii..
Ku hempaskan tubuhku di atas karpet di samping tempat tidur.
Ku buka laci kecil dan ku keluarkan beberapa pil penenang dari botolnya.
Ku isap dalam-dalam Malboroku. Pahit tercekam di tenggorokanku. Tenggorokanku makin sesak saat kuingat adegan di spagheti house tadi.
Sedang apa Biru sekarang..?
Semua kenangan seperti film yang diputar kembali dalam ingatanku. Tentang sosok bernama Biru, pertama kali bertemu dengannya saat aku datang ke satu kota untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Tidak ada kesan apapun tentang Biru, tapi setelah hampir setiap hari minggu sepulang dari Gereja aku bertemu dengan dia. Masih tidak ada yang istimewa. Akhirnya aku harus bertemu setiap hari dengan Biru di sebuah tempat bimbingan belajar favorit di kota itu.
Masih belum ada yang istimewa..
Sampai suatu sore, aku papasan ditempat parkir dengan Biru, pandangan kami bertemu, itulah pertama kalinya aku bertatapan dengan Biru, saat memandang ke dalam matanya ada yang bergetar di dalam sini, dan aku tidak tahu itu apa.
“Hai..” sapaku
“Hai juga.” Biru tersenyum lembut sekilas, tapi sungguh senyumnya membuat aku salah tingkah.
Aku membenikan diri..
“Aku Samudra, panggil aja Sam, kita sekelas tapi nggak kenal..”
“Aku Biru..”
Sejak perkenalan itu, selain di tempat les, kami sering bertemu tanpa disengaja, di toko buku, di toko kaset, di taman bacaan, di lapangan olah raga umum.
Biru sipecinta basket.
Ntah mulai dari mana, aku makin dekat dengan Biru. Biru yang periang. Biru yang tidak pernah kehabisan ide. Dengannya aku bisa tertawa sekeras-kerasnya.
Setiap hari minggu, sepulang dari Gereja aku menjemput Biru dari mentoring di ITB (sejenis sekolah minggu mungkin kalo di agamaku).
Aku mulai sering rindu tawanya. Kejahilannya. Ide-ide segarnya. Tidak pernah sekalipun aku merasa bosan ada di sampingnya.
Aku masih ingat ketika dengan halus Ia menepis tanganku, saat tanganku hendak menyentuh pipinya ketika dia menangis.
Biru tidak pernah membiarkan aku menyentuhnya. Dia menyampaikannya begitu halus, kenapa dia tidak mau disentuh. Alasan yang tidak aku pahami pada mulanya, muhrim, khalwat, dan lain-lain. setelah aku kenal Raffa barulah aku mengerti.
salahkah aku semakin ingin memilikinya.
Isakku tak dapat ku tahan lagi. Aku sangat merindukan Biru.
Aku tahu ini sangat cengeng, tapi seolah-olah biru sudah masuk kedalam darahku, menyatu dengan hatiku, pikiranku. Hah! Ini sungguh gila!
Terakhir aku melihatnya lima tahun yang lalu sebelum aku memutuskan lari dari rumah suatu malam di mana untuk pertama kalinya tangan Dad menyentuh pipiku! Lebih tepatnya menampar pipiku!
Hardikkannya masih terngiang ditelingaku!
“Mempelajari Islam?!”
“Apa maksud kamu?!!”
“Tidak!”
Rasa sakit di wajahku tidak seberapa, tapi sakit di dalam sini yang tak terhingga.
Memang aku yang bersalah. Aku melakukan sebuah kesalahan yang tak termaafkan. Aku pantas untuk mendapat tamparan dari Dad.
Aku begitu merindukannya. Biru…!
Kenangan akan Biru mengusikku kembali.
Lima tahun sudah semuanya Berlalu. Dalam lima tahun itu aku tidak pernah berhenti mencari tahu tentang Biru. Aku tahu persis dimana dia berada. Aku tahu betul dia sekolah dimana. Aku tahu betul Biru tidak memiliki kekasih, sampai dengan hari ini. Dan benar atau tidak, aku yakin masih ada cinta untukku di hatimu.
Sempat terlintas untuk menelponnya saat aku akan diambil sumpah. Seandainya Biru tahu, aku berhasil jadi Dokter. Tapi aku belum sempat berbuat untuk sesame melalui profesiku.
Ntahlah Biru..
Aku memang seorang laki-laki yang egois, aku tidak mudah bergaul, aku tidak punya banyak teman. Aku terlalu sombong dan angkuh untuk menunjukkan bahwa aku membutuhkan seseorang.
Aku memang terbiasa mandiri. Dan aku mampu melakukan apapun sendiri. Sangat mampu. Yang aku tidak mampu lakukan adalah… berhenti mencintaimu.
Berhenti memikirkanmu.
Aku bukan orang yang cengeng Biru, kamu tahu seumur hidupku, baru tiga kali aku menangis.
Tapi hari ini sudah lebih dari dua kali aku menagis. Hari ini saja. Aku kesepian Biru..
Semakin deras isakku. Aku raih ponselku, kutekan sederet nomor yang sudah sangat aku hafal. Hanya saja aku tidak sanggup untuk menyimpannya di dalam phone bookku.
“Halloo.. Assalamualaaikuum…”
“Hallo… siapa ini” ………………………………
Bergetar hatiku mendengar suara yang sudah sangat aku kenal, aku tidak bisa berkata apa-apa.
Dinginnya AC ruangan kamarku membuat hatiku semakin dingin dan membeku.
Ku hisap rokok terakhirku, pahit. Sepahit apa yang aku rasakan saat ini. Hatiku berdarah.
Dengan pakaian lengkap, kubiarkan air dingin deras dari shower membasahi rambut dan seluruh tubuhku.
Cairan hangat semakin deras mengalir di pipiku bersatu dengan pancaran air shower.
Kelepaskan tangisku sekuatnya, isak yang tadi kutahan pecah sudah. Membuat guncangan di bahuku. Lebih dari satu jam aku menangis di bawah shower.
Ku kenakan handuk untuk membungkus badanku yang mulai mengigil. Handukku langsung basah seketika, dari baju yang aku kenakan.
Sayup-sayup terdengar suara adzan. Hampir setiap subuh aku mendengarnya, karena belum sempat memejamkan mata dan tertidur.
Malam-malam yang panjang kulewati dengan kerja dan kerja mengejar deadline tulisan-tulisanku. Sejak mengenal Biru aku mulai suka menulis dan sanggup menghabiskan waktu berjam-jam di depan laptopku. Beberapa karyaku bertebaran diluar sana.
Suara adzan itu tidak pernah sekalipun membuat aku beranjak untuk shalat. Aku merasa Tuhan tidak adil, setelah aku masuk Islam, setelah aku belajar banyak hal tentang Islam, setelah aku merasakan perihnya tamparan Dad dipipiku. Setelah itu semua. Tuhan tetap saja tidak Bisa mempersatukan aku dengan Biru.
Biru tetap jauh, bahkan semakin jauh, dan semakin sulit aku jangkau.
Ntah kenapa, pagi ini aku begitu rindu shalat. Sesaat aku ragu, masih hafalkah aku bacaan shalat?
Apa benar yang dikatakan Raffa bahwa aku belum kaffah!
Apa itu kaffah?!
Apa benar aku tertarik Islam karena aku menginginkan Biru?!
Air wudlu membasahi wajah sembabku, ku ambil sajadah berwarna biru.
Aku rentangkan dengan lembut di atas karpet, lagi-lagi berwarna Biru.
Aku angkat kedua tanganku.
Aku menyebut nama-NYa..
Bergetar hatiku ketika nama-Nya.
Tidak aku duga, bacaan shalat masih melekat kuat dalam ingatanku.
Ruku.
Sujud.
sujud.
Rakaat pertamaku lancar.
Rakaat kedua, agak terbata-bata, suaraku tersekat ditenggorokan, saat cairan bening mulai terasa hangat di kedua pipiku.
Aku meleleh, berserah diri sepenuhnya.
Aku serahkan diriku, hidupku dan segala asa yang ada kepada Tuhan, pemilik hidupku.
Aku mohon ampunan atas segala dosa, pengkhianatan dan pengingkaranku akan kehadiran dan cinta-Nya selama ini, begitu lama aku berpaling dari-Nya.
Begitu lama aku melupakan-Nya. Begitu lama aku hidup dalam kesendirianku tanpa memperdulikan dan tanpa mengingat-Nya.
Angkuh!
Arogan!
Aku pura-pura dungu!
Pura-pura tidak tahu siapa pemilik hidupku.
Begitu lama aku terlena dan menggantungkan harapan pada Biru yang juga hanya sekedar makhluknya, sama dengan aku. Sama dengan yang lain.
Sujud terakhirku begitu lama, begitu dalam. Aku sungguh-sungguh merasakan kehadiran-Nya, keindahan berdua saja bersama-Nya. Begitu terasa tangan kasih-Nya, mendekapku penuh cinta.
Inilah cinta yang selama ini aku cari, Membuatku makin meleleh dalam rasa damai.
Begitu ringan rasanya tubuhku. Begitu ringan rasanya kepalaku. Beban yang selama ini menghimpitku hilang seketika. Sesak di dadaku hilang dalam sekejap.
Maafkan aku Tuhan…
Seandainya aku tau bagaimana keindahan dan kenikmatan yang tak terhingga saat bersama-Mu ini sejak lama.
Tidak akan pernah aku berpaling.
Tidak akan pernah aku mendustakan kasih dan cinta-Mu.
Nyaman tak terhingga, damai yang utuh. Penuh, menyeluruh.
Masih dalam sujud terakhirku.
Hening.
Suasana dalam ruangan kamarku hening. Hanya terdengar detak jam dinding.
Aku masih sujud dan enggan melepaskan hangat dan damainya berada dalam dekapan-Nya.
Kubiarkan diriku disana, dalam sujud panjangku.
Perlahan aku rasakan sosok Biru menjauh.
Menjauh..
Tapi…
Dia tersenyum, senyuman yang sudah sangat aku kenal.
Apa betul yang aku rasakan ini namanya ikhlas seperti yang dikatakan Raffa.
Hening…
Tak kudengar lagi suara detak jam dinding kamarku.
Tak kudengar lagi suara isak lembut karena bahagia.
Biru, pagi ini aku ada di Bandara Soekarno Hatta. Aku akan pergi menunaikan tugasku.
Aku harus pergi ke Daerah untuk mengabdikan diriku, mengamalkan ilmuku, banyak mereka yang membutuhkan uluran tanganku.
Biru, aku sudah menitipkanmu pada Tuhan. Aku sudah melepaskanmu, bukan berarti aku melupakanmu.
Aku berani melepasmu, karena-Nya.
Berani bukan berarti tidak takut, Biru. Tapi ini pilihanku.
Dan aku harus memilih.
Benar apa yang kamu katakan, saat itu aku membiarkan kakiku terus berjalan, hingga ketengah, dan aku terluka oleh goresan karang saat aku ingin kembali.
Biru, aku akan ke Yogya, disana aku akan mulai semuanya dari awal, aku akan melakukan banyak hal untuk saudara kita yang sedang menerima indahnya ujian dari Tuhan..
Biru, ini terakhir kalinya aku menulis tentang perasaanku padamu.
Mungkin aku tidak akan pernah menulis lagi.
Aku hanya akan menulis betapa indahnya mencintai yang seharusnya kita cintai..
Yaitu mencintai-Nya, Biru..
Mencintai Tuhan kita..
Aku bersyukur Tuhan telah merengkuhku, dengan caran-Nya sendiri yang begitu unik, yang tidak pernah kita sangka, tidak pernah kita duga.
Aku merasa Tuhan bicara padaku melalui sederhananya kamu, bersahajanya kamu, polosnya kamu, apa adanya kamu..
Terima kasih Tuhan..
sudah saatnya ku kembalikan semua kepada Engkau, Tuhan.
***
Petugas kebersihan bandara itu, menutup lembar terakhir buku bersampul biru dengan gambar Tulip kecil sebagai hiasan covernya.
Tangan tuanya itu menyeka air mata yang membasahi wajah penuh garis-garis.
Dengan kaki yang mulai terasa kesemutan, dia mencoba berdiri.
Dibukanya lemari pakaian tuanya, buku itu diselipkan dengan hati-hati diantara beberapa lembar pakaiannya yang terlipat rapi tapi sudah sangat usang. Diusapnya dengan lembut buku itu.
Sekarang Ia tahu buku itu sengaja ditinggalkan, mungkin Sam sudah memiliki buku Biru yang baru.
Direbahkan tubuhnya diatas tikar, sebait doa lembut nan tulus terdengar lirih dari bibir tuanya, untuk seorang Sam, pemuda yang tidak pernah dikenalinya. Doa yang tulus, doa yang tanpa pamrih. Terpujilah cintamu Sam, engkau kembalikan pada satu-satunya Dzat yang memang layak kamu cintai sepenuhnya.
Semoga, Tuhan mempertemukanmu Dengan Biru dalam satu ikatan suci kelak, ah seandainya Biru tau bahwa Sam sudah menjadi seorang muslim sejak lama.
================================================
================
post by: http://modelbunyukaltim.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar